Archive for the hukum internasional Category

Arti Pengesahan (Ratifikasi) Perjanjian Internasional  dan Pelaksanaannya dalam Sistem Hukum Nasional  Ditinjau dari Perspektif Sistem Peraturan  Perundang-Undangan Indonesia

Posted in hukum internasional, Perundang-undangan on June 27, 2023 by irfaninurfaqih

Abstract

The intensity of international relations conducted through treaties significantly increase in many aspects of life. However, the Indonesian legal system still not provides clarity regarding the meaning of ratification, status, and position of international treaties in national legal system. This lack of clarity makes the position of international treaties in national legal system is also unclear and ultimately causes the legal uncertainty on its implementation. In many cases, treaty will take precedence over national legislation, but in other cases, national legislation prevails over treaty. Furthermore, ratification of a treaty through a Law/Presidential Regulation makes a consequence that treaty that has been ratified, viewed from its legal instrument, is a part of national legislation because Law/Presidential Regulation is legal instrument which become part of Indonesian legislation system. However, viewed from the perspective of source of law, treaty is different and separated from national legislation. It can be said that the status of treaties in Indonesian legal system is unclear. On the one side, treaty is a part of national legislation, but on the other side, treaty is a source of law outside the national legislation. Treaty subject to the two setting regime on the opposite dimension, but not accompanied by provision that affirm the relationship between these two dimensions. Status of treaty that is not clear in the national legal system raises several issues and many questions from the perspective of legislation that still do not have the answer.

This research refers to three issues: first, what is the meaning of ratification of treaties under international and national law and how is the position of treaties that has been ratified in national legal system? Second, how is the implementation of treaties ratified by Law/Presidential Regulation viewed from the perspective of Indonesian legislation system? Third, what efforts that should be done to provide legal certainty regarding the status, position, and implementation of international treaties in Indonesian legal system?

The method used in this research is juridical normative approach, in which the research focuses on the use of secondary data by studying and examining the legal norms in the field of international treaties and Indonesian legislation system.

The findings of this research show that the Indonesian legal system still have not provided clarity regarding the meaning of ratification of international treaties in national legal system. The clear meaning of ratification of treaty in national legal system is the most fundamental issue to be analized because it will further determine the status, position, and implementation of treaty in national legal system. As long ratification does not provide a clear meaning, the treaties in national legal system will continue in uncertain position and ultimately cause inconsistent implementation of treaties in national legal system. Furthermore, affirmation and clear meaning of ratification of treaty in national legal system will also be able to answer the various issues or questions from the perspective of legislation. The effort that should be done to solve these problems is to establish constitutional provision as a basic norm (grundnorm) in order to create legal certainty of treaties in national legal system. Constitution, as the supreme law of the state, must explicitly mentions the meaning of ratification that will further determine the status, position, and implementation of treaty in national legal system. Creating legal certainty through constitutional provision is basically not emphasized in the selection of a particular doctrine which is often used in discussion concerning the relationship between national law and international law (monism and dualism), but the more important to do as an effort to create this legal certainty is to determine unequivocally what the meaning of ratification of treaty in national legal system (incorporation or transformation).

Asuransi Pensiun di Jerman

Posted in hukum administrasi negara, hukum internasional on June 27, 2023 by irfaninurfaqih

Asuransi pensiun publik (statutory pension insurance/die gesetzliche Rentenversicherung) merupakan salah satu pilar penting dalam penyelenggaraan sistem asuransi sosial di Negara Federal Republik Jerman yang mulai dikembangkan pada masa Pemerintahan Kaisar Wilhelm I (1871-1888). Pengembangan sistem asuransi sosial di Jerman banyak terinspirasi dari pemikiran kanselir Otto von Bismarck, salah satu tokoh pencetus negara kesejahteraan (welfare state) dalam perjuangan penyatuan Jerman pada Abad ke-19. Konsep asuransi sosial yang dikembangkan oleh Otto von Bismarck (Bismarck Model) menekankan pembiayaan asuransi dari kontribusi peserta berupa premi asuransi, sedangkan sistem lain yang lazim dijadikan pembanding adalah Beveridge System yang dikembangkan oleh William Beveridgedari Inggris yang menekankan pembiayaan asuransi dari penerimaan perpajakan (general taxation).

Berdasarkan inisiatif Kanselir Otto von Bismarck, pada tahun 1881 Kaisar Wilhelm I menerbitkan Imperial Decree 17 November 1881, yang secara resmi menandakan peluncuran sistem asuransi pertama yaitu, system of accident and illness insurance for workers sebagai cikal bakal pengembangan sistem jaminan sosial di Jerman. Dalam perkembangan selanjutnya, Bismarck memperkenalkan beberapa asuransi sosial lainnya, yaitu asuransi kesehatan (statutory health insurance) pada 1883, asuransi kecelakaan (statutory accident insurance) pada 1884, dan sejak 1889 para pekerja untuk pertama kalinya dapat mengasuransikan diri terhadap konsekuensi yang ditimbulkan dari usia tua dan keadaan cacat dan asuransi inilah yang menjadi cikal bakal dalam pengembangan sistem asuransi pensiun di Jerman.

Pada tahun 1911 pengaturan beberapa cabang asuransi sosial tersebut dikonsolidasikan dalam sebuah undang-undang tentang asuransi sosial, yaitu Reichsversicherungsordnung (RVO). Kemudian pada tahun berikutnya, cakupan sistem asuransi sosial terus diperluas, yaitu dengan menciptakan asuransi sosial bagi pekerja kantoran (white-collar employees) pada 1912 dan asuransi bagi pengangguran yang mulai diberlakukan pada tahun 1927. Cabang terbaru asuransi sosial di Jerman adalah asuransi perawatan jangka panjang (statutory long-term care insurance) yang mulai diperkenalkan secara bertahap pada tahun 1994.

REVITALISASI HUKUM DASAR PEREKONOMIAN NASIONAL DALAM HUKUM PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA

Posted in hukum administrasi negara, hukum internasional on October 11, 2009 by irfaninurfaqih

Perekonomian global menuntut adanya sikap keterbukaan Indonesia terhadap pihak asing dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya dalam kebijakan penanaman modal. Di sisi lain, kepentingan dan kedaulatan ekonomi nasional harus menjadi tumpuan utama dalam setiap kebijakan di bidang perekonomian. Untuk menemukan jalan keluar atas polemik ini, kebijakan penanaman modal asing di Indonesia tentunya harus dikembalikan kepada hukum dasar (grundnorm) perekonomian nasional sebagaimana digariskan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 33 UUD RI Tahun 1945 memiliki tujuan yang ideal untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan kedaulatan ekonomi nasional.

Di tengah gencarnya promosi Pemerintah Indonesia kepada investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, hukum penanaman modal asing di Indonesia masih diliputi oleh perdebatan krusial terkait arah kebijakan penanaman modal asing sebagai bagian dari kebijakan perekonomian nasional. Undang-Undang Nomor 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dinilai oleh berbagai golongan sebagai produk hukum yang sangat kental dengan nuansa kapitalisme dan liberalisme yang tidak sejalan dengan hukum dasar perekonomian nasional. Tidak sedikit pula yang berpandangan ekstrim bahwa hukum penanaman modal asing di Indonesia dewasa ini semakin membuka ruang imperialisme ekonomi modern. Tulisan ini akan mencoba mengkaji mengenai arah kebijakan penanaman modal asing di Indonesia sebagaimana tercermin dalam Peraturan Perundang-undangan dari masa ke masa dikaitkan dengan hukum dasar perekonomian nasional.

download

PEMBARUAN HUKUM KONTRAK DALAM RANGKA MENINGKATKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DIKAITKAN DENGAN DITETAPKANNYA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 59 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN STATUTE OF THE INTERNATIONAL INSTITUTE FOR THE UNIFICATION OF PRIVATE LAW

Posted in hukum internasional on July 1, 2009 by irfaninurfaqih

Hukum kontrak merupakan bidang hukum yang sangat penting di era globalisasi terutama dalam mendukung kegiatan di sektor perdagangan dan transaksi bisnis internasional. Menyatukan hubungan antara para pihak dalam lingkup internasional bukanlah persoalan yang sederhana. Hal ini menyangkut perbedaan sistem, paradigma, dan aturan hukum yang berlaku sebagai suatu aturan yang bersifat memaksa untuk dipatuhi oleh para pihak di masing-masing negara. Menurut Rene David dalam bukunya Major Legal System in The World Today, penelitian secara mondial dengan cara perbandingan hukum memperlihatkan gambaran sebagai berikut.

  1. Sistem hukum Romawi Jerman (Romano Jerman) yang lazim dikenal dengan Civil Law dianut oleh negara Eropa Kontinental.
  2. Sistem hukum Common Law yang dianut oleh negara Anglo Saxon.
  3. Sistem hukum sosialis.
  4. Sistem hukum berdasarkan agama dan hukum kebiasaan (adat).

Di samping itu dikenal pengelompokan sistem hukum perdata di dunia sebagai berikut.

  1. Sistem hukum perdata dalam keluarga hukum Romawi.
  2. Sistem hukum perdata dalam keluarga hukum Jerman.
  3. Sistem hukum perdata dalam keluarga hukum Skandinavia.
  4. Sistem hukum perdata dalam keluarga hukum Common Law.
  5. Sistem hukum perdata dalam keluarga hukum Sosialis.
  6. Sistem hukum perdata dalam keluarga hukum Timur Jauh.
  7. Sistem hukum perdata dalam keluarga hukum Islam.
  8. Sistem hukum perdata dalam keluarga hukum Hindu.

Pengelompokan ini disusun oleh Zweigert dan Kotz, sedangkan Arminjon menganut pengelompokan yang sama dengan Zweigert dan Kotz namun tidak menyebut keluarga hukum Timur Jauh.
Perbedaan sistem hukum perdata sebagaimana disebutkan di atas memberikan pengaruh yang signifikan kepada masing-masing negara dalam pembentukan hukum (undang-undang) yang mengatur mengenai kontrak baik dari aspek formil maupun materiilnya. Hukum kontrak pada kenyataanya sangat beragam karena adanya perbedaan sistem hukum di masing-masing negara tersebut. Kalaupun ada persamaan, hanya terkait dengan prinsip-prinsip umum yang belum dapat diaplikasikan secara nyata sebagai pedoman dalam pembentukan kontrak internasional yang lingkup objeknya begitu luas, sedangkan aturan-aturan yang sifatnya substantif berbeda di masing-masing negara. Kondisi seperti ini tentunya tidak kondusif bagi aktivitas dunia bisnis internasional. Adanya perbedaan aturan di masing-masing negara akan menghambat terlaksananya transaksi bisnis internasional yang menghendaki kecepatan dan kepastian.

Indonesia, ditinjau dari aspek historis berada pada rumpun sistem hukum Civil Law yang dibawa oleh Belanda pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Hukum kolonial pemerintahan Hindia Belanda berlaku sebagai hukum nasional berdasarkan asas konkordansi melalui Pasal II Aturan Peralihan yang telah diamandemen menjadi Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun seiring dengan perkembangan situasi, kondisi, dan kebutuhan yang nyata dalam kehidupan bernegara dewasa ini, kaidah-kaidah sistem hukum Civil Law dirasakan sudah tidak diterapkan secara utuh. Kaidah hukum Common Law dan kaidah hukum Islam saat ini sudah banyak mempengaruhi pembangunan hukum di Indonesia.
Namun demikian, aturan umum mengenai hukum kontrak masih berpedoman pada aturan yang merupakan warisan dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd) atau Burgerlijk Wetboek (BW) khususnya Buku III tentang Perikatan. Belanda sendiri, sebagai negara yang membawa BW ke Indonesia sudah mengganti dengan yang baru, yaitu Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW) yang muatannya sudah sangat berbeda dengan BW. NBW yang saat ini berlaku di belanda sebagai The Dutch Civil Code sudah jauh lebih maju baik dari segi substansi maupun sistematika sebagai koreksi atas kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam BW. Hal ini memang sudah disadari dengan adanya penyusunan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (RUU KUHPerd) yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM. Melalui Surat Keputusan No. PPE.232.PP.01.02 Tahun 2008, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia telah membentuk Panitia Penyusunan RUU KUHPerd. Panitia beranggotakan 22 orang, diketuai Elyana Tanzah. Selain berasal dari internal Direktorat Peraturan Perundang-Undangan Dephukham, anggota tim juga melibatkan akademisi seperti Rosa Agustina, notaris A. Partomuan Pohan, serta mantan hakim agung Arbijoto dan J Johansyah. Panitia Penyusunan RUU KUHPerd sudah menyampaikan laporan akhir kepada Menteri Hukum dan HAM pada penghujung tahun 2008 lalu. Sejauh ini, bagian yang sudah tersusun adalah Buku I tentang Orang.

Pembahasan yang dilakukan oleh Panitia Penyusunan RUU KUHPerd belum sampai pada pembahasan Buku III tentang Perikatan. Tentunya pembahasan tersebut harus dilakukan secepatnya mengingat tuntutan akan aktivitas perdagangan dan bisnis internasional yang semakin pesat. Kegiatan bisnis atau perdagangan internasional baik yang dilakukan oleh negara maupun pihak swasta di Indonesia harus terus berjalan dan tidak bisa menunggu pembahasan RUU tersebut. Kenafian payung hukum atau aturan hukum kontrak dalam konteks hukum kontrak internasional akan menimbulkan kerugian bagi negara maupun pihak swasta di Indonesia sendiri. Apalagi pada tanggal 2 September 2008 Indonesia sudah mengesahkan Statuta UNIDROIT dengan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of The International Institute For The Unification of Private Law. Perpres tersebut telah membuka lebar pintu harmonisasi hukum bagi Indonesia dalam konteks hukum kontrak internasional untuk menghilangkan hambatan pelaksanaan perdagangan dan transaksi bisnis internasional.

Dari uraian latar belakang permasalahan ini, tentunya kajian pembaruan hukum kontrak/perjanjian di indonesia sebagai upaya peningkatan perdagangan dan transaksi bisnis internasional merupakan hal yang menarik untuk dibahas, dikaitkan dengan ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of The International Institute for The Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional untuk Unifikasi Hukum Perdata).

download versi lengkap dalam format pdf.